Thursday, May 31, 2012

Rumah Kosong (Cerpen)

Cerpen : Rumah Kosong
Karya : Nira Prakasita

Malam yang dingin, langit cerah penuh bintang. Planet Jupiter di timur laut tampak angkuh memamerkan sinarnya pada rembulan di barat daya. Malam itu Betha bersama keluarganya pergi ke rumah Pak Sujono, teman ibu Betha, untuk mengambil foto keluarga. Semuanya begitu sibuk mengangkat foto keluarga yang besar itu untuk diletakkan di atas mobil. Sedangkan Betha hanya duduk termenung memandang rumah kosong di depan rumah Pak Sujono. Rumahnya gelap sekali, halamannya juga luas, pagar tembok tinggi dengan gerbang yang sudah berkarat, juga bnyak rumput disekitar gerbang, ya rumah itu terkesan angker, apalagi bulan berada tepat diatas rumah itu. Betha tak henti-hentinya menatap rumah kosong di seberang jalan itu.

                Bu Sujono membuyarkan lamunan Betha, mengajak masuk kedalam rumah lalu membuatkan teh yang hangat untuk keluarga Betha. Ibu Betha bertanya kepada Pak Sujono tentang rumah kosong itu.
“ Rumah di depan itu apa memang kosong?”  Ibu bertanya
“oh, iya itu rumah kosong, milik orang arab, sekarang sudah tidak ditempati.” Pak Sujono menjelaskan.
Betha mendengarkan dengan sungguh-sungguh, karena benar-benar penasaran dengan rumah kosong itu. Karena hari sudah semakin larut , keluarga Betha pun berpamitan. Saat di dalam mobil Betha tetap memandangi rumah kosong itu, lalu pura-pura bertanya pada ayahnya.
“yah, itu rumah kosong ya?” Tanya Betha
“iya, jangan dilihat, rumahnya berhantu.”  Kata ayah Betha bercanda.
                Betha malah menganggap serius dan malah semakin berhayal macam-macam tentang rumah kosong itu.



                Seminggu berlalu, Betha dan keluarganya ke rumah Pak Sujono lagi, untuk mengembalikan figora foto. Sore itu, setelah turun dari mobil, dengan segera Betha melangkah mendekati rumah kosong itu Lalu mendekati gerbang. Melihat sisi rumah dan halamannya. Saat Betha melihat rumput-rumput yang panjang di bawah gerbang, Betha melihat sebuah KTP yang sudah agak luntur mungkin karena hujan dan panas. Betha begitu penasaran, tapi dia ragu-ragu untuk mengambil KTP itu, antara takut dan penasaran. Tiba-tiba Alan, adik Betha juga berdiri memegangi pagar gerbang sambil melihat rumah kosong itu.
“Dik, kamu lihat KTP itu? Tolong ambilkan!” kata Betha
“Oh, KTP itu?!” Lalu Alan mengambilnya.
Alan dan Betha sambil berjongkok membaca KTP yang sudah memudar itu. Ya, itu KTP seorang lelaki berinisial “A” dengan wilayah yang berada di kabupaten “B”. kabupaten yang jauh dari wilayah ini. Belum selesai Alan dan Betha membaca, ayah mereka sudah memanggil mereka, mengajak mereka untuk pulang. Dengan segera Betha memasukkan KTP itu kesakunya, tapi Alan mencegahnya.
“Kak, KTPnya jangan dibawa pulang!” kata Alan
“Kenapa?” Betha bertanya
“Nanti hantu yang punya rumah ikut dengan kita!” kata Alan.
                Betha pun jadi merinding dan takut, lalu dilemparkannya KTP itu ke tempat asalnya, dan kedua anak itu pun berlari menuju ke dalam mobil. Di perjalanan Betha begitu memikirkan tentang KTP itu. Sampai malampun Betha tetap memikirkannya, dan akhirnya di sekolah Betha berencana untuk kerumah kosong itu lagi. Sepulang sekolah, Betha mengajak Erin, teman sekolahnya yang rumahnya tidak jauh dari rumah kosong itu.
                Sepulang sekolah, saat hujan deras, kedua anak ini menuju rumah kosong itu. Saat sampai di depan rumah kosong itu, di jalan depan rumah kosong itu banyak terlihat anak-anak kecil bermain bola. Betha berhenti, lalu memanggil 2 anak kecil yang berada disitu.
“Dik, tolong ambilkan KTP di bawah gerbang rumah kosong itu!” kata Betha
“KTP itu apa kak?” anak kecil itu bertanya dengan wajah polos
“Kertas kecil, bentuknya kotak, ada di bawah gerbang dik, dekat rerumputan!” kata Betha
                Lalu anak-anak kecil disana mencari KTP yang Betha maksut itu, tapi tidak ketemu, Betha pun ikut mencari, tapi tetap tidak ketemu. Betha benar-benar kecewa, perjuangannya kerumah itu ternyata sia-sia, tidak membuahkan hasil. Lalu Betha mengajak Erin pulang. Tapi salah seorang anak mencegahnya.
“Tunggu kak! Kata anak itu sambil memanjat gerbang, lalu masuk kedalam rumah melalui celah di samping rumah, kemudian berlari kea rah Betha.
“apa ini kak?” anak itu bertanya sambil memberikan sebuah kartu, tapi yang Betha lihat bukan KTP melainkan SIM, ya, sebuah SIM milik orang yang sama, dengan wilayah yang sama juga. Akhirnya Betha dan Erin pun pulang sambil berterimakasih kepada anak-anak kecil itu. Sebelum pulang, Betha sempat memotret rumah kosong itu. Di perjalanan Betha dan Erin berbincang-bincang.
“Kok ini SIM ya?” kata Betha
“Mungkin yang kamu lihat kemarin itu SIM!” kata Erin
“Bukan, kemarin itu KTP, tulisannya begitu jelas kok, Kartu Tanda Penduduk kota “B”, saya gak mungkin salah lihat.” Kata Betha
“Tapi kok aneh ya? SIM dan KTP kok dibuang? Ah mungkin sudah tidak dipakai jadi dibuang!” kata Erin
“oh iya ya, saya kok bodoh sekali ya!” Betha bergumam sambil mengeluarkan SIM dari sakunya, lalu terkejut.
“Lho Rin, tapi ini masa berlakunya sampai Juni 2012, sekarang kan masih 2011!” kata Betha
“Ha? Iyakah Bet?” Erin yang mengemudi memelankan motornya.
“Iya, coba lihat!” Kata Betha sambil memperlihatkan di depan wajah Erin yang sedang mengemudi.
“Ah, mungkin KTP dan SIM orang yang jatuh!” kata Erin
“Lho, masa SIMnya jatuhnya di dalam rumah? Kamu tadi lihat sendiri kan anak kecil itu dapat dari dalam rumah? Sedangkan saya kemarin lihat KTPnya di bawah gerbang.” Kata Betha
“Iya, gak masuk akal, apalagi itu wilayahnya jauh dari kota ini kan? Kok bisa ada disini ya?” kata Erin.
“Aku juga bingung, padahal orang yang punya rumah itu kan orang arab, tapi yang di dalam SIM ini wajahnya orang jawa!” kata Betha.
                Sambil terus melaju, Betha terus mengamati SIM yang ada ditangannya itu. Sesampainya dirumah Betha terus mengamati SIM itu, nama pemiliknya, tanggal lahirnya, juga alamat rumahnya. Kemudian Betha membuka Atlas, mencari letak alamat yang ada di SIM itu. Benar-benar jauh dari kota ini.
Betha mulai menyimpulkan beberapa analisisnya. Pertama, Betha berfikir bahwa orang yang punya SIM dan KTP itu tanpa sengaja menjatuhkan dompetnya, sehingga SIM dan KTPnya jatuh di rumah kosong itu, tapi itu tidak masuk akal, karena tidak mungkin kan jatuhnya digerbang dan didalam rumah? Apalagi jalan di depan rumah itu begitu sepi karna itu jalan buntu menuju pemakaman. Ya, itu tidak mungkin terjadi, lalu Betha mencoret analisa ini dari daftar. Kedua Betha berfikir, mungkin orang ini kecopetan atau dirampok, tapi kemudian Betha mencoret analisa ini, karena seorang pencopet kalau membuang barang hasil curiannya pasti sembarangan waktu melemparkannya, tidak mungkin dipisah-pisah, Karena kita tahu, SIM da didalam rumah, sedangkan KTPnya ada di bawah gerbang. Analisa ketiga Betha berfikir, jangan-jangan orang ini teroris, lalu membuang identitasnya di rumah kosong itu, tapi lagi-lagi Betha mencoret analisanya dari daftar. Karena tidak mungkin, seorang teroris malah membuang identitasnya sembarangan. Analisis keempat, mungkin orang ini disekap dirumah kosong itu, tapi itu tidak mungkin karena anak-anak sering bermain di sekitar situ, pastinya anak-anak kecil akan melihat orang itu, tapi kenyataannya anak-anak kecil disitu tidak pernah melihat seseorang di dalam rumah itu. Pada analisis kelima, Betha menyimpulkan, jangan-jangan orang ini dibunuh, dan mayatnya dibuang dirumah itu, tapi itu juga tidak mungkin, karena pasti bila didalam rumah itu ada mayat, orang-orang disekitar rumah itu akan mencium bau busuk. Akhirnya Betha pada analisa keenam, Betha menyimpulkan kalau pemilik KTP dan SIM itu dibunuh lalu mayatnya di olesi balsam, lalu  dikubur dikubur dihalaman belakang rumah itu, ya, itu tidak menimbulkan bau, tapi yang aneh, seorang pembunuh tidak mungkin membuang identitas korban sembarangan.
Betha benar-benar bingung dengan semua kesimpulan yang tidak bisa memecahkan masalah ini. Hingga akhirnya Betha memutuskan untuk pergi ke alamat rumah yang ada dalam SIM itu pada liburan semester nanti.


Esok paginya, di sekolah Betha menceritakan kejadian tentang rumah kosong itu pada teman-teman sekelasnya, sambil menunjukkan SIM itu, lalu mengajak teman-temannya untuk pergi ke alamat yang ada pada SIM itu. Tapi teman-temannya tidak ada yang mau, dan tanggapan dari mereka pun tidak memuaskan, dan malah membuat Betha semakin bingung.
“Janganlah kamu kesana, berbahaya, apalagi kamu anak perempuan! Tempatnya jauh pula, lagipula kamu kan tidak tahu banyak tentang tempat itu!” kata Vera, teman sekelas Betha.
“Iya, lagipula gak penting banget kita kesana tanpa arah dan tujuan yang jelas, kalau menurutku itu hanya orang yang kecopetan!” kata Farida.
“Aku gak bisa, liburan nanti aku mau pergi bersama keluargaku.” Kata Widodo.
“Hah, mau ngapain kesana? Jauh ah!.” Kata Edi.
“Wah keren, kayak detective, kita menyelidiki sesuatu, tapi aku gak mau, jauh! Aku juga takut.” Kata Weni.
“Ayo, ayo, tapi ngapain kesana? Ha? Mencari rumah orang? Gak jadi ah!” kata Andini.
“Eh, jangan ngomongin cerita misteri dong, aku takut!” kata Manda.
“Oh, itu pasti orang yang berteduh di rumah kosong gara-gara kehujanan, lalu ada orang yang jualan bakso, terus beli bakso, pas waktu membayar bakso, eh, KTPnya jatuh. Besoknya hujan lagi, orang itu berteduh lagi mau pulang ke rumahnya, gara-gara ada cegatan jadi menata isi dompetnya, eh SIMnya jatuh.” Kata Unun.
“Setelah nemu KTP dan SIM, besok kamu nemu kartu keluarga Bet!” kata Risma.
“ Ala, bentar lagi orang itu juga meninggal, la orangnya sudah tua.” Kata Indra.
“Kalau menurutku, kamu jangan kesana, kamu ngirim surat saja ke alamat ini, nanti kalau dibalas, berati orangnya masih hidup, kalau gak dibalas berarti orangnya sudah mati.” Kata Tino.
“Mending lapor polisi saja, bilang kalau menemukan KTP dan SIM di rumah kosong, biar nanti di selidiki polisi!” kata Laila.
“Kalau menurutku itu kecopetan bukan pembunuhan! Jadi KTP dan SIMnya dibuang di rumah kosong itu.” Kata Fira.
“Sudah, jangan terlalu difikirkan, berdoa saja agar orang itu tidak kenapa-kenapa.” Kata Fadli.
“Untungnya aku kemarin gak ikut ke rumah kosong itu. Kalau ikut pasti sudah kepikiran terus.” Kata Icha.
“Jiah, kok malah penasaran sama rumah orang, mencurigai rumah orang itu gak baik!.” Kata Rendhi.
                Ya, tanggapan  teman-teman Betha malah membuat Betha semakin bingung.


                Pulang sekolah, hujan deras lagi. Ibu Betha sedang menggoreng jamur di dapur. Betha bingung, dia ingin menceritakan tentang rumah kosong itu pada Ibunya, tapi takut dimarahi. Akhirnya Beta memulai pembicaraan.
“Bu, Ibu pernahkah penasaran dengan seseorang atau sesuatu?” kata Betha pelan.
“Tidak pernah. Kenapa?” Ibu bertanya.
“Ng… tidak kenapa-kenapa, Hm, Ibu tahu tidak, kemarin Senin aku pinjam motor, pergi kemana?” kata Betha.
“Tidak tahu, memangnnya kemana?” Ibu bertanya.
“Ke rumah kosong, depan rumah Pak Sujono!” jawab Betha lirih, setengah berbisik.
“Ha? Ngapain kamu kesana? Malah keluyuran jauh kesana?!” kata Ibu.
“Saya penasaran dengan rumah itu!” kata Betha.
“Penasaran bagaimana?” Tanya Ibu.
“Kemarin, saya sudah cerita pada Ibu kan yang tentang KTP yang aku lihat di rumah kosong itu? Saya kemarin rencananya ingin mengambil KTP itu, tapi waktu saya kesana, KTPnya sudah tidak ada, dan saya malah menemukan SIM milik orang yang sama.” Jelas Betha.
“Mungkin itu hanya KTP dan SIM yang sudah tidak terpakai, jadi dibuang!” kata Ibu.
“Tapi masa berlaku SIMnya sampai tahun 2012!.” Kata Betha.
Ibu sedikit terkejut dan kaget.
“Dan saya sekarang berfikir, jangan-jangan pemilik KTP dan SIM itu dibunuh di rumah kosong itu, makanya saya penasaran. Dan kata salah seorang temanku, saya disuruh mengirim surat ke alamat itu, kalau dibalas, berarti orangnya masih hidup, kalau tidak dibalas berarti orangnya sudah mati.” Kata Betha lagi.
                Sejenak Ibu menghentikan aktifitasnya menggoreng, lalu berbicara pada Betha.
“Kamu jangan aneh-aneh, kalau misalkan ditempat itu benar terjadi pembunuhan, kamu bisa ditangkap polisi, karena barang bukti ada di kamu. Dan kalau kamu mengirim surat ke alamat itu, lalu polisi menyelidiki asal surat itu, kamu juga bisa kena,! Jangan mencari masalah! Lagipula jangan mencampuri masalah orang lain!, itu berbahaya! Dan menyelidiki tentang itu bukan hakmu! Hakmu itu belajar! Jangan malah mencari masalah!.” Ibu memarahi Betha.
                Deg, jantung Betha rasanya berhenti berdetak setelah mendengan kata-kata Ibunya. Betha jadi ketakutan dan bingung, dia takut sekali, tapi begitu penasaran. apa yang dikatakan Ibunya dia pikirkannya betul. Lalu dia mulai ingat kembali, tentang awal kecerobohan ini dimulai.
“Aduh, bagaimana ini? Aku takut dituduh polisi, padahal aku tidak bersalah.” Betha merenung di dalam kamar sambil meneteskan air mata.
“Hiks..hiks… bodohnya aku, bagaimana nanti kalau tiba-tiba polisi datang ke rumah kosong itu, lalu menemukan KTP yang dulu kucari tapi tidak ketemu, dan di KTP itu ada sidik jariku, karena aku sempat memeganya waktu itu. Bagaimana nanti kalau polisi menginterogasi orang-orang di sana, dan anak-anak kecil itu, pasti polisi akan bertanya “Apakah kalian melihat orang yang mencurigakan di sekitar tempat ini?” dan lalu anak-anak kecil itu akan menjawab “Iya, beberapa waktu lalu ada 2 orang anak perempuan menaiki motor merk ini, dengan nomer polisi sekian sekian sekian mencari KTP di rumah itu, dan memotret rumah itu”. Lalu polisi akan bertanya lagi “Bagaimana cirri-cirinya?” dan anak kecil itu akan menjawab “Yang satu duduk diatas motor menggenakan mantel, yang satunya lagi memakai kacamata dan menggunakan hel merah dan memakai jaket abu-abu”. Lalu polisi itu akan bertanya lagi “Kira-kira umur berapa dua orang itu?” lalu anak kecil akan menjawab “Mungkin kalau tidak SMP ya SMA”. Kemudian polisi itu akan mendatangi semua SMP dan SMA di kabupaten ini, lalu mencari sidik jari yang sama dengan yang ada pada KTP itu. Oh… tidak…, apa yang aku lakukan kemarin? Kenapa aku begitu bodoh, sampai-sampai tak memikirkan ini? Kenapa aku begitu ceroboh mengambil keputusan?”. Betha menangis sambil memeluk boneka singa miliknya.
                Betha benar-benar taku t sekali. Betha juga bingung mau diapakannya SIM yang ada di lacinya sekarang. Sambil menangis terisak-isak, ia mengirimkan pesan pada Budi, dan menceritakan semuanya mulai dari awal sampai akhir.
“Halah, sudah tenang saja, tinggal buang saja atau hanyutkan ke sungai.” Kata Budi
“Kok malah dibuang? Kan di SIMnya ada sidik jariku! Gimana sih (_ _”) ?” kata Betha
“kalau begitu bakar saja! Gampang kan?” kata Budi
“Aku gak berani membakarnya, aku takut!” kata Betha
“Ya sudah, aku saja yang membakarnya, besok kamu berikan pada Rendhi, terus biar dia berikan padaku. Jangan lupa SIMnya itu masukkan amplop lalu di staples.! Ok?!” kata Budi
“Ok, bos. Terimakasih.” Kata Betha.


Di sekolah Betha masih bingung mau diapakannya SIM yang ada di sakunya sekarang. “Dibakar, tidak, dibakar, tidak, dibakar… tapi nanti kalau dibakar berarti barang bukti hilang untuk selamanya? Kalau tidak dibakar, aku malah kepikiran terus, aduuuuhh…” Betha menggerutu. Betha menarik nafas panjang, lalu memutuskan mencari Rendhi, dan pas sekali, Rendhi berada di depan kelasnya, dengan segera Betha memberikan amplop yang berisi SIM itu pada Rendhi dan berkata “Tolong berikan pada Budi!” lalu pergi meninggalkan Rendhi.
Sore hari, HP Betha bergetar, dilihatnya ada sms dari Budi.
“Sip, barang sudah saya terima.” Kata Budi.
“Gimana bos menurutmu orangnya?” Tanya Betha.
“Tenang saja, orangnya sudah meninggal kok.” Kata Budi.
“Ha? Apa iya? Tahu darimana bos?” Betha kaget.
“Hahahaha, aku mengarang.” Kata Budi.
“jiah, ==” terus menurutmu gimana? Tanya Betha.
“Menurutku orang itu kecopetan atau kerampokan, lalu SIMnya dibuang di rumah itu, sudah tenang saja, itu bukan korban pembunuhan kok.” Kata Budi.
                Betha sedikit lega mendengar jawaban itu. Hari itu Betha benar-benar merasa tenang. Dia bisa tidur nyenyak tanpa beban tentang SIM itu.

Beberapa hari kemudian, saat Betha hendak makan, ayah Betha bertanya.
“Bet, katanya Ibu, kamu kemarin ke rumah kosong itu ya?” Ayah bertanya.
“Iya, saya benar-benar penasaran dengan rumah kosong itu.” Kata Betha.
“Lain kali jangan seperti itu lagi, itu berbahaya. Kalau kamu penasaran dan sebelum kamu memutuskan sesuatu harusnya konsultasi dulu pada ayah atau ibu. Kamu tidak memikirkan kan kemungkinan terburuknya? Kamu memegang barang buktinya kan? Sidik jarimu pasti akan menempel bertahun-tahun, kalau penjahatnya sih pasti menggunakan sarung tangan saat memegangnya, tapi polisi tidak pernah mau tahu, karena apa yang ada di barang bukti adalah sidik jari kamu!” kata Ayah.
“Iya, sebenarnya saya juga sudah memikirkan semua kemungkinan terburuknya, tapi karena begitu penasaran, saya jadi tidak peduli tentang semua itu.” Kata Betha.
“Ya, penasaran sih boleh saja, tapi coba kamu pikirkan nanti kalau misalkan bos penjahatnya ketemu dan ditangkap polisi, pasti penjahatnya balas dendam pada kamu, karena kamu ikut campur masalahnya. Itu berbahaya, penjahat itu bisa menyuruh anak buahnya untuk mencarimu dan mencelakaimu! Kerja sama antar penjahat itu begitu kompak!” kata Ayah.
“Tapi bagaimana kalau sudah terlanjur seperti sekarang ini?” Tanya Betha.
“Ya sudah! Jangan diteruskan!, karena sudah ada haknya sendiri siapa yang harus menyelidiki kasus itu. Kalau kamu detective atau polisi, itu tidak masalah, tapi kalau orang awam seperti kamu yang menyelidiki, nanti malah jadi masalah, dan ini sangat beresiko.” Kata Ayah.
“Itu semua, karena saya begitu penasaran dan ingin tahu.” Kata Betha.
“Iya, ayah tahu, yapi coba kamu bayangkan misalnya di rumah itu sama penjahatnya dipasang kamera CCTV, dan wajahmu terekam disitu, nanti kamu pasti akan di cari oleh komplotan penjahat itu. Atau misalkan saat kamu berada di sana, dan ternyata di dalam rumah itu ada penjahatnya, bagaimana jika tiba-tiba kamu ditembak dari jarak jauh oleh penjahat itu tanpa kamu sadari? Lain kali pikirkan dulu matang-matang sebelum bertindak.” Ayah menasehati.
“Iya ayah, saya mengerti, saya tidak akan mengulangi ini lagi, saya menyesal sudah bertindak ceroboh.” Kata Betha.
                Betha yang sebelumnya sudah senang terbebas dari masalah ini, jadi murung lagi, perasaan itu dating lagi, akhirnya Betha curhat pada Heri.
“Hmm, memangnya kamu lihat ada orang mati di rumah itu? Tanya Heri.
“Ya gak, kan Cuma menduga.” Kata Betha.
“Mesti pikiranmu aneh-aneh, mungkin saja orang itu kecopetan trus KTP dan SIMnya dibuang disitu.” Kata Heri.
“Tapi biasanya copet kalau membuang barang hasil curiannya mesti sembarangan, gak dipisah-pisah!” kata Betha.
“Emang KTP dan SIMnya dipisah?” Tanya Heri
“Iya, KTP ada dibawah gerbang, dan SIM ada di dalam rumah. Aku takut kalau itu benar-benar pembunuhan.” Kata Betha.
“Ah, itu gak usah dipikir, ngapain mikir orang yang memang sudah waktunya mati?” kata Heri.
“La gimana nanti kalau misalkan itu benar-benar terjadi?” kata Betha.
“Sudahlah. Mending mikir yang positive saja!” kata Heri.


                Beberapa hari kemudian ibu bercerita pada Betha.
“Tentang rumah kosong itu, kata pak Sujono, pemilik rumah itu bangkrut, dan hutangnya dimana-mana. Hingga akhirnya, karena banyaknya hutang, rumah itu di sita dan jadi rebutan banyak Bank. Jadi sekarang kepemilikan rumah itu tidak jelas, dan rumah itu biasa di sebut, rumah tak bertuan.” Kata Ibu.
“Owh, mungkin pemilik KTP dan SIM yang aku temukan di rumah kosong itu, milik orang yang kecopetan, dan SIM+KTPnya dibuang disana.” Kata Betha.
“Jadi rumah itu tidak ada hubungannya dengan SIM dan KTP itu?” Tanya Ibu.
“Kalau menurutku bukan begitu, mungkin itu KTP dan SIM milik pemilik rumah kosong itu, KTP dan SIM itu digunakan untuk meminjam uang di Bank.” Kata Ayah.
“Hmm, jadi identitas palsu?” Tanya Betha.
“Ya, mungkin begitu, punya banyak identitas palsu.” Kata Ayah.
“Pantesan bisa pinjam di banyak Bank.” Kata Ibu.
                Ya, akhirnya masalah tentang rumah kosong ini pun selesai. TAMAT


No comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar. Terimakasih atas saran dan kritik anda.