-Masa Kecil Tak Terlupakan-
Nira Prakasita, 2010
Setelah selesai
membantu orang tua nopi, kami pun hendak pulang. Saat melewati pasar, tiba tiba
kami dihadang si serebong,! Kali ini kami terkejut karena si serebong tiba tiba
berada di depan kami, kami pun mengambil jalan pintas dan lari terbirit birit,
terdengar si serebong berteriak keras, “dasar orang perkebunan gak punya
kalender” kami kaget, kenapa si serebong bisa tahu kalau kami orang
perkebunan,. Tapi kami malah tertawa cekikian sambil terus berlari.
NIRA PRAKASITA
X.1/24
catatan: ini adalah cerita masa kecil bapak saya
Nira Prakasita, 2010
Matahari
baru saja terbangun dari tidur malam yang panjang, langit telah membiru dihiasi
asap putih tebal yang keluar dari cerobong asap pabrik milik perkebunan. Sebuah
nuansa yang aman, damai dan tentram ini selalu menghiasi perkebunan songgon
tercinta, sebuah tanah kelahiran abadi bagiku, terletak di kaki gunung raung
membiru, yang menyimpan sejuta pesona.
Dihari
minggu yang cerah ini, aku, yusuf dan rohmat akan pergi ke balai desa, seperti
biasa, setiap hari minggu kami selalu menonton televisi di balai desa, karena,
di perkebunan ini yang memiliki televisi hanya pak kades, dan agar warga lain
bisa menonton televisi, maka televisi tersebut disimpan dibalai desa,.
“Hei,
kawan, apa kita nanti jadi ke balai desa.?” Tanya yusuf
“ya
jadi lah.! Ini kan hari libur, jadi waktunya kita senang senang.!” Jawab Rohmat
“kalau
begitu ayo kita segera ke balai desa,! TVRI kita pasti sudah menunggu…!” kata
yusuf.
“lho,
di,! Kenapa kamu diam saja dan gak bersemangat begitu,? Ada apa.? Kamu gak
ingin nonton tv ya.? Tanya Rohmat pada ku
“aku
gak apa apa kok.! Bukannya aku tak mau, tapi, aku ingin membantu nenekku
mencari kayu bakar buat dijual ke pasar seragi besok pagi.!” Jawab ku.
“oalah
wakidi, wakidi.! sudahlah. Nanti kami bantu kamu kok.! Lagipula kan kita cuma
mau lihat berita di TVRI saja,! Itu pun juga tidak lama.! Iya kan.?” Kata
Rohmat
“baiklah
aku ikut, televisi kan sumber informasi,! Rugi juga aku nanti kalau tidak
nonton,! Pasti kalian nanti minta dijelaskan kalau kalian tidak paham dengan
apa yang di tayangkan di televisi nanti,!” kata ku meledek
“ha..ha..ha..!
kamu tahu saja di,,! Aku kan seperti itu Cuma ingin nge’tes kamu saja..!” kata
yusuf sambil tertawa
“sudah
sudah jangan bertengkar,! Ayo kita segera ke balai desa.! Nanti keburu siang!”
kata Rohmat
Tak
lama kemudian kami pun sampai di balai desa, dan langsung menyalakan televisi
hitam putih yang berada di ruang tengah balai desa. Setelah beberapa lama kami
nonton tv, kamipun segera ke hutan dekat perkebunan untuk mencari kayu bakar,!
Dan di hutan sudah menunggu nenekku yang sejak tadi sudah memulai mencari kayu
bakar, aku, yusuf dan rohmat segera membantu mencari kayu bakar, dan segera
mengikat kayu kayu tersebut menjadi 4 ikat. Kami pun pulang, dengan masing
masing membawa 1 ikatan kayu
“nek,
aku bawakan kayunya ya nek,! Nenek pasti capek bawa kayu seberat itu.!” Kata
yusuf
“ala
suf,suf,! Pasti kamu juga gak akan kuat bawa 2 ikat kayu, wong 1 ikat saja kamu
sudah keberatan,! “Jawab nenek
“gak
kok nek, saya kuat kok,! Ayolah nek, saya pingin bantu, kan nenek sendiri yang
bilang, kalau kita harus saling membantu.!” Kata yusuf memaksa
“haha,
pasti nanti kalau yusuf kelelahan bawa kayunya, pasti kayunya ditinggal di
tengah jalan seperti biasanya,!” celetuk ku
“iya,
betul, yusuf kan orangnya tidak pernah bertanggung jawab, dulu saja pernah,
sepedah unta nya si sajidin ditinggal kan yusuf di tengah perkebunan kopi, gara
gara bannya bocor, untungnya sajidin anaknya baik hati, jadi dia tidak marah
walaupun saat malam malam dia harus ngambil sepedanya sendirian di kebun kopi,
dasar kamu itu suf suf, anak nakal,! Hahaha!” kata rohmat
“ye,!
Itu kan dulu,! Dulu aku memang nakal, tapi sekarang aku dah tobat lo,!” jawab
yusuf
“ya
sudah, sudah! Ini kayunya,! Kata nenek sambil memberikan ikatan kayu itu pada
yusuf
Benar
saja dugaan kami, karena terlalu banyak membawa kayu, si yusuf berjalan paling
belakang, dengan keberatan membawa 2 ikat kayu. Akhirnya kayu kayu tersebut
ditinggalkan begitu saja di tengah perjalanan tadi, jelas saja nenekku marah
marah sama yusuf, aku dan rohmat hanya tersenyum kecil melihat tingkah yusuf.
******
Malam
pun berlalu, pagi baru pun datang diiringi suara lonceng, pertanda jam 3 pagi.
Aku pun segera bangun dan membantu ibuku memasak di dapur, walaupun aku anak
laki laki, tapi aku sudah biasa membantu ibu memasak,mencuci baju, menyapu
rumah, dan pekerjaan lainnya. Setelah selesai membantu ibuku, aku dan anak anak
songgon lainya bersama sama berangkat kesekolah, sekolah kami berada di desa
seragi, dan perjalan ke sekolah kami juga cukup jauh, kira kira 8 km, dan hanya
bisa ditempuh dengan jalan kaki, dan kami juga harus menyeberangi sungai bila
jembatan roboh, kadang kaki kami penuh pacet saat melewati hutan, tapi kami
sudah terbiasa dengan keadaan itu, bahkan jika hujan deras, hanya aku sendirian
anak dari songgon yang berangkat kesekolah sendirian, karena kalau sungai
banjir, sangat berbahaya bila sampai jatuh kesungai, dan disamping sungai itu
ada sebuah kuburan kuno yang katanya angker, jadi anak anak takut sekali bila
cuaca mendung, sebab tempat itu menjadi gelap.
Setelah
lama berjalan akhirnya kami pun sampai disekolahan, disekolahku ini, 85%
siswanya adalah anak songgon, karena sekolah ini adalah seklah terdekat bagi
anak songgon. Loncengpun berbunyi, kami pun segera masukke dalam kelas, dan
menerima pelajaran dari bapak ibu guru kami.
Setelah
pelajaran berakhir aku, yusuf, dan rohmat diajak nopi bermain dipasar, dipasar
itu ramai sekali, banyak ibu ibu yang menggendong anaknya sambil membawa
keranjang belanja, di kanan kiri banyak sekali penjual ikan dan sayuran. Mata
kami berempat tertuju pada warung penjual makanan, terdengar suara pembeli yang
berdebat dengan si penjual, kami pun menguping. Maklumlah kami kan masih anak
smp, jadi selalu ingin tahu.
“bu,
saya itu mau beli serebong.!” Kata si pembeli
“di
sini itu gak jual serebong pak.!” Kata si penjual
“lho,
ada bu, tadi saya lihat anak tadi beli serebong disini” kata si pembeli
“wah,
bapak ini susah ya di kasih tahu, saya ini tidak jual serebong pak, serebong
itu apa.? Saya saja tidak pernah dengar.! Kata si penjual dengan kesal
“ada
bu, serebong ya serebong.!” Kata si pembeli teguh pada pendiriannya
“aduh
pak, terserah bapak deh, coba bapak cari sendiri saja disini kalu ada.?”
Perintah si penjual
Si
pembeli itu segera mencari barang yang bernama serebong itu, lalu dia menunjuk
dan mengambil sebungkus jajan seribu (arum manis)
“ini
dia bu, sudah saya bilang, kalau disini jualan serebong.!” Kata si pembeli
sambil menyerahkan selembar uang Rp.100.
“aduh
pak, itu namanya seribu, bukan serebong,!’ kata si penjual
“bukan,
ini namanya serebong, serebong ya serebong,” kata si pembeli marah
“huahahaha,
seribu kok di sebut serebong, huahaha, serebong, serebong, apa itu.!” Kata
yusuf nyeletuk sambil tertawa terbahak bahak.
Seketika
si pembeli tadi langsung melongok kearah kami sambil marah marah lalu mengejar
kami sambil membawa sebutir batu, kami pun lari sekencang mungkin, sedangkan si
yusuf, malah mengejeknya sambil bilang “serebong, serebong, serebong” muka
orang itu pun memerah seperti hendak meledak, sambil terus ngomel sambil
mengejar kami, akhirnya di depan kami ada sebuah gang kecil, lalu kamipun
bersembunyi di situ, si serebong yang mengejar kami pun kelelahan dan pergi.
******
Senja
diufuk telah memerah memenuhi angkasa, beberapa ekore kelelawar mulai keluar
dari sarangnya untuk mencari makan. Terdengar suara adzan magrib mengiringi
terbenamnya matahari.
Kami
pun shalat berjamaah di surau sebelah pabrik perkebunan. Setelah shalat magrib,
anak anak segera keluar rumah untuk bermain kelereng, petak umpet, sudamanda
dan kejar kejaran. Setelah sekitar jam 8 malam, anak anak itupun kembali ke
rumah masing masing untuk belajar, begitu juga aku, aku segera pulang kerumah,
dan belajar pelajaran untuk besok, walaupun dengan penerangan ublik, aku tetap
belajar, dan kadang kaki terasa gatal saat seekor nyamuk menghisap darah kakiku.,
tapi aku tetap belajar.
******
Kokok
ayam bersahut sahutan membangunkan kami dari mimpi mimpi kecil yang indah,
seperti biasa, aku segera membantu ibu, dan segera berangkat ke sekolah. Yusuf
dan Rohmat sudah menungguku untuk berangkat bersama kesekolah. Lalu kami pun
berangkat kesekolah. Seperti biasa, setelah mendapatkan ilmu dari guru kami,
kami pun pulang, kali ini nopi mengajak kami ke sawah, untuk membantu orang tua
nopi yang seorang petani. Aku, yusuf dan Rohmat hanya bingung saja, saat mendengar
kata sawah, kami bertiga terus berkhayal tentang sawah, maklum, kami belum
pernah kesawah, karena di perkebunan kami tidak pernah ada yang namanya sawah.
“hey,
lihat itu sawahnya sudah kelihatan.!” Kata nopi menunjuk arah pohon pohon
bambu.
“oalah,
jadi sawah itu adalah tempat mananam bambu ya.?” Tanyaku penasaran
“bukan
lah, yang ku maksud bukan tanaman bambu, tapi rumpun padi yang ada di balik
pohon bambu itu.!” Jelas nopi
“o,,,
itu,,! Wah ternyata sawah itu seperti ini ya,! Eh, tapi padi itu apa.?” Tanya
ku, yusuf dan rohmat bersamaan.
“padi
itu tanaman penghasil beras..! ah, kalian ini orang Indonesia, tapi dengan
makanan pokok sendiri saja kok gak tahu.sih.!” kata nopi
“jiah,
maklum sajalah nop, di desa kami itu adanya Cuma kopi, karet, dan coklat.!”
Kata rohmat
“iya,
betul,, kami kan baru pertama kali ini kesawah, jadi kami belum pernah melihat
pohon beras.! hehehe…!” kata yusuf
“eh,
apa itu,? Eh, sapi hitam, eh, lihat, ada sapi hitam, aneh ya, baru pertama kali
ini aku melihat sapi hitam yang aneh.!” Kataku menunjuk binatang berwara hitam
“itu
bukan sapi, itu kerbau, kerbau berguna untuk membajak sawah,! Apa di perkebunan
juga tidak ada kerbau.?”tanya nopi
“tidak
ada, kami baru pertama kali ini melihat sapi hitam, eh, maksudku kerbau, juga,
pohon beras.” Kataku
“ow,
ya sudah,! Eh, itu ayah dan ibuku, ayo tolong bantu aku menanam padi.!” Ajak
nopi
“ayo,
aku juga ingin memegang pohon beras..!” kata ku, yusuf, dan rohmat serempak.
NIRA PRAKASITA
X.1/24
catatan: ini adalah cerita masa kecil bapak saya
No comments:
Post a Comment
Pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar. Terimakasih atas saran dan kritik anda.